Dosa-dosa Umum
Penulis
1.
Story telling, mendeskripsikan alur dengan cara
menerangkan, bukan memperlihatkan.
Contoh:
Story telling:
Dia gadis yang
cantik. Semua orang menyukai dan tergila-gila padanya. Dia suka duduk sendirian
di taman sambil membaca buku.
Story shawing:
Gadis itu memiliki rambut hitam tergerai hingga sebatas pinggang yang melengkung proporsial bak gitar Spanyol, sepasang mata beriris coklat dinaungi bulu-bulu lentik, tepat di bawah sebentuk alis menyerupai semut berbaris. Hidung mancung dan bibir semerah delima, disempurnakan oleh kulitnya yang seputih salju. Sore ini, dia membuka lembaran demi lembaran buku dengan gerakan sangat pelan, seolah takut akan merusaknya.
Gadis itu memiliki rambut hitam tergerai hingga sebatas pinggang yang melengkung proporsial bak gitar Spanyol, sepasang mata beriris coklat dinaungi bulu-bulu lentik, tepat di bawah sebentuk alis menyerupai semut berbaris. Hidung mancung dan bibir semerah delima, disempurnakan oleh kulitnya yang seputih salju. Sore ini, dia membuka lembaran demi lembaran buku dengan gerakan sangat pelan, seolah takut akan merusaknya.
Bahwa pembaca terlibat bukan
mendikte. Dengan demikian, pembaca akan mendapatkan gambaran jelas mengenai
karakter, setting maupun situasi yang ada di sana.
2.
Hindari opening bertele-tele
Dalam sastra klasik, relevan dengan era
kejayaan penyair, maka lumrah adanya jika novel dengan konflik romantika
sederhana bisa menjadi kitab tebal dengan dibanjiri kalimat-kalimat puitis dan
permainan majas dimana-mana. Tetapi, di zaman yang serba instan dan mobile,
pembaca akan cepat merasa bosan dengan alur yang berjalan lamban. Karena sastra
kontemporer tidak lagi hanya diperuntukkan khusus mereka yang duduk tenang
dengan secangkir teh di sore hari, bersama kain rajutan tergeletak di sisi
mereka. Sastra pun tak luput dari mobilitas modernisasi.
3.
Pleonasme
Hindari pemborosan kata dengan menulis
sesuatu yang sudah jelas. Paling sering ditemui adalah: naik ke atas, turun ke bawah, masuk ke dalam, melangkahkan kaki,
menggelengkan kepala, matanya menatap, dsb. Atau menambahkan sesuatu
yang memiliki makna sama dengan kata sebelumnya, seperti: sunyi, senyap, diam tak bersuara, dsb.
4.
Penggunaan huruf kepital yang tidak bijak
Cukup banyak naskah yang menulis ‘Aku’ pada
cerita dengan sudut pandang pertama. ‘Aku’ hanya boleh diawali huruf capital di
tengah kalimat jika mengacu pada kata ganti TUHAN.
5.
Kurang memahami fungsi elipsis
Ada kaidah tertentu dalam menyematkan
ellipsis. Jika ditengah kalimat, maka menggunakan titik tiga, dan jika
di akhir, maka menggunakan titik empat.
Contoh:
A : Terlambat menyadari, bahwa
sebenarnya gadis itu adalah … putri kandungnya.
B : Dia sedang berlari menuju kamar,
ketika tiba-tiba … . Dilihatnya sosok tinggi besar
berkelebat dari kejauhan.
berkelebat dari kejauhan.
6.
Penulisan ‘di-’
Untuk keterangan tempat, maka di-
ditulis terpisah dari kata setelahnya. Contoh: di
kantor, di rumah, di sekolah, di lapangan, dsb.
Untuk kata kerja pasif, maka di- ditulis
menyatu dengan kata setelahnya. Contoh: ditulis,
dibaca, ditemui, dicintai, dsb.
7.
Sudut pandang orang pertama
Kesalahan yang cukup umum terjadi adalah
pada kalimat: Dia pasti melihatku tadi, pikirku. Mengambil
cerita dari sudut pandang pertama, nasari yang mengalir otomatis dari sudut
pandang orang pertama (aku). Ucapan, tindakan, dan pikiran dimiliki oleh ‘aku’. Jadi tidak perlu lagi menulis ‘pikirku’, ‘batinku’ dsb.
8.
Judul Spoiler
Salah satu tujuan disusunnya sebuah cerita
adalah memancing minat dan rasa ingin tahu pembaca, bukan? Hindari membeberkan isi cerita melalui judul. Misalkan: Air
Mata Terakhir Nadia, Penguasa Kikir Mati Tertabrak Truk, dsb.
9.
Ending
Daya pikat terbesar dari sebuah cerita salah
satunya adalah ending yang memorable, atau tak terduga (twisted).
Walau semua penulis memiliki gaya bercerita dan pilihan ending yang beraneka
ragam, namun jangan merusak keindahan lukisan dengan setitik minyak.
Menceritakan detail kronologis sebuah kejadian menyeramkan, menegangkan, dan
epic, kemudian ditutup dengan ending bahwa semua itu hanya mimpi? Percayalah!
Itu cara yang paling malas untuk menyelesaikan sebuah ceirta. Boleh saja
menggunakannya sesekali, tapi terlalu banyak garam akan merusak cita rasa
masakan, bukan?