GANGGUAN BERBAHASA BERDASARKAN FAKTOR
LINGKUNGAN SOSIAL PADA KASUS KAMALA
MAKALAH
oleh:
1.
SRI
WAHYUNI 170203023
2.
ANA
LESTARI 170203001
3.
NURUL
HUDA 170203017
4.
HASNIAR 170203010
5.
YULIANA 170203028
6.
JUMAHIRAH 170203015
7.
HASNAWATI 170203009
8.
DEVI
MINARTI 170203005
9.
LISKA 170203016
10.
RADIANSYAH
M. 170203018
11.
ERVIANTI
DEWI SAPUTRI 170203008
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
PUANGRIMAGGALATUNG
2019
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah
Psikolinguisitik yang berjudul “Gangguan Berbahasa pada Kasus Kamala”. Dan juga
kami berterima kasih kepada Bapak Muhlis, S.Pd., M.Pd. dosen mata kuliah Psikolingusitik
yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat
berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai
Psikolingusitik. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam tugas ini
terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu,
kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan dimasa yang akan
datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi
siapapun yang membaca. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami mohon
kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.
Sengkang,
5 Desember 2019
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang.............................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah.......................................................................... 2
C.
Tujuan............................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Gangguan Faktor Lingkungan...................................................... 3
B.
Penanganan Gangguan Berbicara.................................................. 5
BAB II PENUTUP
A.
Kesimpulan.................................................................................... 8
B.
Saran.............................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 9
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbahasa adalah proses mengeluarkan
pikiran dan perasaan (dari otak) dan secara lisan, dalam bentuk kata-kata atau
kalimat. Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya, tentu dapat
berbahasa dengan baik. Namun, mereka yang memiliki kelainan fungsi otak dan
alat bicaranya, tentu mempunyai kesulitan dalam berbahasa, baik produktir
maupun reseptif. Jadi, kemampuan bahasanya terganggu.
Gangguan berbahasa ini secara garis
besar dapat di bagi dua. Pertama, akibat gangguan faktor medis; dan kedua,
akibat faktor lingkungan sosial. Yang dimaksud faktor medis adalah gangguan,
baik akibat kelainan fungsiotak maupun akibat kelainan alat-alat bicara.
Sedangkan yang dimaksud dengan faktor lingkungan sosial adalah lingkungan
kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari
lingkungan kehidipan masyarakat manusia yang sewajarnya.
Namun pada makalah ini kita akan
fokuskan pada gangguan berbahasa berdasarkan faktor lingkungan pada kasus
Kamala.
B. Rumusan
Masalah
Adapun rumusan masalah adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana
gangguan berbahasa berdasarkan faktor lingkungan?
2. Bagaimana
cara penanganan gangguan berbahasa?
C. Tujuan
Adapun tujuannya adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui
gangguan berbahasa berdasarkan faktor lingkungan
2. Mengetahui
cara penanganan gangguan berbahasa
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Gangguan
Faktor Lingkungan
Yang
dimaksud dengan akibat faktor lingkungan adalah terasingnya seorang anak
manusia yang aspek biologis bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia.
Keterasingannya bisa disebabkan karena diperlakukan dengan sengaja (sebagai
eksperimen) bisa juga karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia,
melainkan dipelihara oleh binatang serigala, seperti kasus Kamala dan Mougli (Chauchard,
1983: 68-69).
Anak terasing tidak sama dengan kasus
anak tuli. Anak tuli masih hidup dalam masyarakat manusia. Maka, meskipun dia
terasing dari kontak bahasa, tetapi dia masih dapat berkomunikasi dengan orang
di sekitarnya. Sedangkan anak terasing
menjadi tidak bisa berkomunikasi dengan manusia karena dia tidak pernah
mendengar suara-ujaran manusia.
Beda anak tuli dan anak terasing adalah
bahwa anak tuli dirugikan karena tidak bisa mendengar suaranya sendiri maupun
suara orang lain. Hal ini berbeda dengan anak normal yang tercerai dari masyarakat. Dia dapat
mengeluarkan suaranya, tapi dia tidak pernah mendengar suara (perkataan) orang
dari sekelilingnya, padahal suara (perkataan) orang dari sekeliling anak itu sangat berperan dalam mengembangkan
kemampuan berbicara.
Jadi, anak terasing karena tidak ada
orang yang mengajak dan diajak berbicara, tidak mungkin dapat berbahasa. Karena
dia sama sekali terasing dari kehidupan sosial masyarakat, maka dengan cepat ia
menjadi sama sekali tidak dapat berbahasa. Meskipun bentuk badannya adalah
manusia tetapi dia tidak bermartabat seperti manusia. Otaknya tidak berkembang
sepenuhnya, tidak dapat berfungsi dalam masyarakat manusia, dan akhirnya
menjadi tidak mampu sebagai manusia setelah beberapa tahun. Anak terasing tidak
sama dengan anak primitif, sebab orang primitif masih hidup dalam suatu
masyarakat meskipun taraf kebudayaannya sangat rendah tetpi tetap dalam suat
lingkungan sosial.
Dalam sejarah tercatat sejumlah kasus
anak terasing, baik yang diasuh oleh hewan (serigala) maupun yang “terasingkan”
oleh keluarganya.
Kasus adanya anak manusia yang
dipelihara oleh serigala menurut catatan Zingg sejak tahun 1344 telah ada 31
kasus (Chauchard, 1983: 68). Salah satu diantaranya adalah Kamala dan adiknya,
kanak-kanak perempuan India yang ditemukan oleh seorang misionaris di
Midnapore, India.
Ketika baru ditemukan, Kamala
diperkirakan berumur 8 tahun dan adiknya berumur 2 tahun. Kamala masih bisa
hidup sampai 9 tahun sedangkan adiknya tak lama setelah ditemukan meninggal
dunia. Karena hidup di tengah serigala, ia sangat mirip dengan serigala. Ia
berlari cepat sekali dengan kedua tangan dan kaki, mengaum, lebih sering
bergaul dengan serigala, tidak bercakap satu kata pun, dan tidak terlihat
adanya mimik emosi di wajahnya. Sangat sukar untuk mengajar ia berdiri,
berjalan, menggunakan tangan, apalagi bercakap-cakap (sampai ia meninggal tak
lebih dari 50 kata yang dapat dipelajarinya). Dia mencium-cium dan
mengendus-ngendus makanannya, memeriksa segala sesuatu dengan alat penciuman,
mempunyai penglihatan malam yang tajam, dan memiliki pendengaran yang tajam
pula, serta tidak tersenyum maupun tertawa.
Bagaimana dengan tingkat kecerdasan Kamala?
Sampai ia meninggal tingkat kecerdasannya tidak pernah diketahui, sebab dia
tidak tidak pernah dites dengan tes-tes objektif yang memungkinkan kita
mengetahui apakah kecerdasan praktis Kamala yang tak terbahasakan itu lebih
tinggi atau tidak dari kecerdasan seorang anak yang bisu atau dari seekor kera.
Namun, bagaimana pun Kamala tidak dapat dibanding-bandingkan dengan kecerdasan
manusia, karena Kamala tidak lagi mempunyai bahasa batin. Jadi, tidak mempunyai
pikiran yang sebenarnya, pikiran yang efektif (Chauchard, 1983: 69).
B.
Penanganan
Gangguan Berbahasa
1.
Metode komunikasi representative
Metode
ini terkait dengan cara efektif erkomunukasi dengan penyandanggangguan
berbahasa. Lebih lanjut hal ini berimplikasi
pada pendidikan bagi anak penyandang gangguan berkomunikasi.
Permasalahan berkomunikasi harus dipahami secara mendasar sebelum ditentukan program
pengentasan kesulitan berkomunikasi yang dialami.
Kebanyakan
dari permasalahan berbicara lebih banyak berkisar pada masalah tumbuh kembang
daripada masalah fisiologis. pada awalnya anak dengan gangguan berkomunikasi
mendapat terapi bahasa hanya di kelas khusus, namun dewasa ini terjadi karena
trend menyekolahkan pada sekola umum atau yang disebut dengan pendidikan
inklusi. Kecuali pada penyandang
gangguan berkomunikasi parah yang membutuhkan terapi individu, pendidikan
inklusi akan maksimal apabila terjalin
kerjasama antara guru, terapis wicara, dokter yang menangani anak tersebut dan
orang tua.
Adapun
pada anak dengan gangguan pendengaran konduktif dibutuhkan alat bantu dengar.
Apabila gangguan pendengaranya lebih kompleks secara konsisten perlu dilatihkan
menggunakan bahasa isyarat, eja jari (finger spelling), atau
menggaunakan keduanya dengan atikulasi perkataan sederhana sesuai contoh. Hal
inilah yang disebut dengan komunikasi total yang masih menjadi cara
berkomunikasi terbaik. Pendidikan inklusi sebaiknya memberikan pelayanan yang
mendukung anal misalnya degan menggunakan media visual seperti film dengan
tulisan yang mendiskripsikan perkataan dan bahan dengan tulisan yang
mendiskripsikan perkataan dan bahan bacaan dengan kosakata sederhana.
2.
Terapi penunjang
Beberapa terapi menunjang proses
penanganan gangguan berbahasa dan bicara. Salah satunya yaitu ergotherapy.
Ergotherapy adalah terapi gerak dan sensoris yang lebih ditujukan untuk melatih
jika anak mengalami masalah dalam pengucapan (dispraxya) yang disebabkan karena
gangguan pada motorik dasar, indra, terlalu sensitif, serta gangguan fisik
lainnya. Tujannya untuk mengatasi aspek gangguan secara spesifik yang
dibutuhkan dalam mendukung perbaikan bahasa dan bicara.
Auditory integration training (AIT) termasuk
dalam terapi penunjang melalui piranti musik. Beberapa orang tua melaporakan
keberhasilan terapi ini yang ditunjukkan dengan kemajuan anak dalam memproses
informasi auditory. Terapi ini dirancang oleh Dr.Guy Berard yang emendalami
bagaimana otot dan syaraf telinga mempengaruhi kerja otak dan organ
keseimbangan sebagai struktur yang saling melengkapi. Ketika sistem telinga
menerima pesan tetapi tidak diproses ke otak sebagaimana seharusnya, sebagai
akibatnya individu menjadi terlalu peka terhadap frekuensi tertentu dan
bermasalah dalam mengatur suaranya sendiri. AIT dalam menggunakan musik untuk
melatih otot telinga berefleksi dan meningkatkan kemampuan otak untuk menyaring
suara yang masuk.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Akibat faktor
lingkungan adalah terasingnya seorang anak manusia yang aspek biologis
bahasanya normal dari lingkungan kehidupan manusia. Keterasingannya bisa
disebabkan karena diperlakukan dengan sengaja (sebagai eksperimen) bisa juga
karena hidup bukan dalam alam lingkungan manusia, melainkan dipelihara oleh
binatang serigala, seperti kasus Kamala.
Penanganan gangguan berbahasa dengan
cara metode komunikasi representative dan terapi penunjang.
B.
Saran
Kami menyadari bahwa penulis masih jauh dari
kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam
menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber yang lebih banyak yang
tentunya dapat di pertanggung jawabkan. Maka kami berharap kritik dan saran
dari para pembaca agar penulis dapat meningkatkan pengetahuan berkenaan dengan
“Gangguan
Berbahasa Berdasarkan Faktor Lingkungan Sosial pada Kasus Kamala”.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer, Abdul. 2003.Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya.
Nur Indah,
Rohmani. 2012. Gangguan Berbahasa : Kajian Pengantar.
Malang:UIN-Maliki
Press.
Soenjono. 2008. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.
Jakarta:Yayasan Obor Indonesia.